Testbed 01 – Ch.6: Confiscation

Pagi telah menyambut Cambria, sebuah dunia dimana hamparan ladang gandum dan padang rumput hijau yang luas menghiasi daerah yang bernama Astralaya. Aku duduk di pagi hari, ditemani dengan secangkir air putih hangat di tangan. Akan lebih nikmat bila ditemani dengan secangkir kopi atau teh, namun karena alasan logistik maka air putih hangat saja sudah cukup. Pagi yang dingin membuat badanku terasa menggigil. Aku tidak mengenakan jaketku karena sedang digunakan oleh Astrid untuk menghangatkan dirinya di kala tidur. Stok air hangat di termos tersisa setengahnya, hanya untuk empat cangkir teh saja. Karena itu, aku harus mencoba bertahan hidup di dunia ini, bagaimanapun caranya.

Matahari telah kembali bertugas seperti biasanya. Sepertinya waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Astrid tertidur lelap di sebelah kiriku dengan diselimuti dengan jaketku. Aku menuju ke kokpit untuk melakukan pencarian barang untuk kebutuhan hidup, mungkin ada persediaan air lagi disimpan di kokpit. Sayangnya, aku tidak menemukan apa-apa kecuali cokelat, beberapa peralatan, rokok, dan korek api. Sebenarnya, aku ingin mencoba menjelajahi dunia ini sekaligus mencari bahan logistik untuk kemudian hari. Namun, Astrid sedang tertidur lelap di sini dan aku tidak dapat meninggalkannya. Siapa tahu ada hal-hal yang buruk menimpa dirinya dan pesawatku. Oleh karena itu, aku hanya dapat merebahkan diriku di dekat Astrid sambil menunggunya bangun. Rasa bosan beserta dengan angin pagi yang sejuk menghampiri diriku dan membuatku kembali menggigil. Aku putuskan untuk membuat api unggun lagi untuk menghangatkan diriku dan menghangatkan air.

Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, walau hanya sebatas perkiraan saja. Astrid akhirnya terbangun dari tidur lelapnya. Aku meliriknya ketika ia mulai meregangkan badannya yang sepertinya terasa pegal, karena tidak tidur di atas kasur. Langsung aku menyiapkan secangkir air hangat dan menyapanya.

“Selamat pagi, Astrid. Bagaimana tidurmu?”

Astrid dengan diamnya menerima secangkir air hangat tersebut. Wajahnya terlihat lemas dengan matanya belum terbuka. Sepertinya ia sedang mengumpulkan nyawanya kembali ke dalam tubuhnya. Pandangannya yang kosong mengarah kepadaku. Aku hanya dapat kembali menghangatkan diri dan menunggunya sadar kembali. Sekitar dua menit berselang, ia memulai meminum airnya. Kesadarannya telah kembali normal, namun tatapannya tetap kosong. Wajahnya berubah menjadi wajah yang penuh dengan keseriusan, layaknya sedang dikelilingi oleh masalah yang cukup serius. Aku penasaran dan ingin mencoba membantunya, sehingga aku bertanya kepadanya.

“Ada apa, Astrid? Sepertinya kau sedang mengalami masalah, ada apa?”
“Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Balas Astrid dengan malunya.

Aku semakin penasaran dengan reaksinya yang terlihat aneh, seperti ada sesuatu yang janggal.

“Kau yakin? Karena daritadi kamu hanya melamun seperti memiliki masalah yang serius.”
“Tidak. Betul, aku tidak apa-apa.” Kembali balas Astrid sambil meminum secangkir air hangat.

Atas jawaban itu, aku hanya dapat menerima respon tersebut apa adanya. Mungkin ia memiliki masalah yang bersifat pribadi dan ia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui masalah tersebut. Mungkin juga ada yang aneh dengan diriku. Aku memang bukan berasal dari dunia ini, jadi wajar saja bila aku dianggap orang aneh di dunia ini.

Tidak lama, sesosok pria paruh baya datang menghampiriku. Ia berbadan besar berotot, berjenggot cukup lebat, bertopi layaknya seorang koboi, dan berpakaian seperti seorang petani. Di belakangnya ada seorang gadis berambut pirang pendek sebahu. Sepertinya dia adalah gadis yang waktu itu menarikku dari klinik menuju kemari dan memarahiku. Jika demikian, maka pria paruh baya tersebut kemungkinan besar adalah ayahnya. Seraya aku dan Astrid berdiri menyambut kedatangan dua orang pemilik ladang ini. Ia bertanya kepadaku mengenai suatu hal. Dan sekali lagi, aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Beruntung, Astrid mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pria tersebut. Ketika mencapai pertanyaan terakhir, Astrid memalingkan wajahnya kepadaku.

“Raden, perkenalkan ini Chandi, kepala desa di sini.” Bilang Astrid sambil mempersilahkan aku dan pria itu berjabat tangan.

Tangannya yang besar membuat tanganku seakan seperti tangan anak-anak saja. Aku hanya dapat menyapa ramah dan mengatakan namaku layaknya seseorang berkenalan. Pria besar yang bernama Chandi itu hanya bergumam saja sambil menatap tajam kepadaku. Sepertinya aku belum diterima dengan baik di sini. Maklum, kedatanganku mengakibatkan sebagian ladang seseorang menjadi rusak. Ditambah lagi dengan bahasaku yang tidak dimengerti oleh masyarakat sekitar, sudah pasti aku digolongkan sebagai orang asing yang perlu dicurigai. Aku hanya diam dan memasrahkan diri, berharap aku dapat diterima dan dapat menjaga pesawatku hingga dapat dioperasikan kembali.

Pak Chandi bertanya kepadaku dengan Bahasa Astralaya. Setelah ia selesai berkata, Astrid bertanya kepadaku dengan Bahasa Inggris, bahasa yang dapat aku mengerti dan gunakan.

“Raden, Pak Chandi bertanya apakah tujuan kamu datang ke sini?”
“Sebenarnya aku tidak memiliki tujuan untuk datang ke sini. Tujuanku adalah untuk menguji pesawat rancanganku. Namun, karena kondisi pesawat rusak berat maka aku harus mencari uang untuk membiayai perbaikannya.” Jawab aku dengan panjang, namun singkat. Lalu, Astrid mengatakan apa yang kukatakan dengan bahasa daerahnya kepada Pak Chandi.

Astrid bertindak seperti seorang penerjemah dalam pembicaraan ini. Pak Chandi mengangguk sedikit setelah mendengarkan keterangan dari Astrid, lalu beliau menanyakan kembali kepadaku. Seperti sebelumnya, Astrid menerjemahkannya untukku.

“Raden, apa kamu memiliki tempat untuk menempatkan pesawatmu dan memperbaikinya di sekitar sini?”
“Tidak, aku tidak memiliki tempat maupun kenalan dekat di sini.”

Astrid menjelaskan apa yang aku katakan kepada Pak Chandi. Pak Chandi mengatakan sesuatu kepadaku, namun ucapannya membuat Astrid dan gadis itu terkaget. Terjadi perdebatan yang cukup serius antara gadis pirang itu dengan Pak Chandi. Namun, Pak Chandi tidak menghiraukannya dan tetap pada keputusannya. Karena kondisi menjadi tidak kondusif, Pak Chandi membentak gadis itu. Walaupun aku tidak tahu apa yang dikatakannya, namun aku tahu bahwa ia sedang marah. Semuanya menjadi diam tak bersuara, hanya suara gemersik angin saja yang dapat bersuara. Bagaikan suatu mantra di kompdi sebuah game RPG uter yang pernah booming ketika aku kuliah dulu. Setelah semuanya tenang, Pak Chandi berkata sesuatu kepada Astrid, lalu menyampaikannya kepadaku.

“Raden, kamu diperbolehkan tinggal di sini dan memperbaiki pesawat.”
Aku merasa bahagia bahwa aku dapat diterima di sini dan dapat memperbaiki pesawat.
“Namun, pesawatmu akan disita sebelum kamu mengganti biaya kerusakan ladang milik Giselle.”
Serentak rasa bahagiaku merontok, berubah menjadi rasa yang aneh dan tidak menyenangkan, terasa ada yang janggal dengan perkataannya. Mendengar hal itu, hatiku berbicara dengan cepat dan saling bertumpukkan satu sama lain. Aku bahkan sulit untuk mengurutkan apa yang harus aku katakan terlebih dahulu.

Tunggu dulu, disita? Apa aku tidak salah dengar?
Bagaimana dengan pesawatku?
Bagaimana dengan Lucy?
Bagaimana dengan persediaan makananku?
Bagaimana agar dapat bertahan hidup di sini?
Bagaimana…

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑